Kenyamanan termal adalah suatu keadaan dimana secara psikologis, fisiologis, dan pola perilaku seseorang merasa nyaman untuk melakukan aktivitas dengan suhu tertentu dalam suatu lingkungan.Secara teori, manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan termal yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu adaptasi pola perilaku, adaptasi fisiologis dan adaptasi psikologis.
Penyesuaian pola perilaku manusia misalnya refleks akan berdebar-debar ketika wajahnya berada di ruangan yang panas dan pengap. Adaptasi adalah fisiologis, ketika tangan direndam dalam air es selama lima menit dan kemudian dimasukkan ke dalam air pada suhu kamar, maka tangan akan merasakan air hangat dan sebaliknya. Adaptasi psikologis adalah mengubah persepsi tentang tingkat suhu yang nyaman berdasarkan harapan dan pengalaman masa lalu.
Kenaikan suhu dalam suatu ruangan disebabkan oleh beberapa sumber panas. Sumber panas pertama adalah sumber panas alami, seperti matahari dan panas bumi. Sumber panas kedua adalah sumber panas biologis, seperti manusia dan hewan. Sumber panas yang terakhir adalah sumber panas mekanik elektrik, seperti mesin, lampu, dan peralatan lainnya.
Perpindahaan kalor dari suatu sumber kalor ke suatu ruangan adalah dengan cara kalor radiasi, konveksi, dan kalor konduksi. Radiasi panas adalah perpindahan panas yang terjadi melalui medium cahaya. Panas konveksi adalah media perpindahan panas yang merambat melalui zat cair dan gas. Konduksi panas adalah media perpindahan panas yang merambat melalui benda padat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal seseorang adalah laju metabolisme, laju ventilasi pakaian yang dipakai, suhu ruangan, kelembaban udara ruangan dan kecepatan udara pada permukaan kulit.
Organisasi sering melakukan penelitian kenyamanan termal, yaitu ASHRAE/ANSI. Standarisasi kenyamanan termal yang umum digunakan adalah Standar ANSI/ASHRAE 55-2010. Selain itu, standarisasi kenyamanan termal dari organisasi lain adalah EN 15 251 dan ISO 7730. Standarisasi kenyamanan termal di Indonesia dengan nomor yang dikeluarkan oleh SNI 03-6572-2001.
Ada dua pendekatan metode penelitian untuk menentukan parameter kenyamanan termal, yaitu dengan metode pemodelan statis dan metode pemodelan adaptif. Apa metode pemodelan metode pemodelan statis dan adaptif? Mari kita lanjutkan penjelasannya di bawah ini.
Model Statis Kenyamanan Termal
Kenyamanan termal adalah metode pemodelan pencarian model statis parameter kenyamanan termal yang dikembangkan dengan asumsi bahwa kondisi termal dalam suatu ruangan adalah tetap. Kenyamanan termal merupakan model statis yang tidak mempedulikan kondisi dan perubahan iklim di luar bangunan serta perbedaan kemampuan dan perilaku adaptasi terhadap lingkungan termal. Penelitian ini didasarkan pada prinsip bahwa suhu ideal dalam suatu ruangan tidak boleh berubah meskipun keadaan iklim berubah selama empat musim. Dalam hal ini, manusia dianggap sebagai objek pasif yang tidak dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan termal.
Model statik kenyamanan termal dikembangkan dengan mengumpulkan data reaksi responden di ruangan dengan iklim statis buatan. Ada dua pemodelan statis kenyamanan termal, yaitu PMV (Predicted Mean Vote) dan PPD (Predicted Percentage Disatisfied).
Kedua model tersebut dikembangkan oleh PO Fanger dengan membuat persamaan matematika statistik berdasarkan studi psikologis kenyamanan termal pada permukaan kulit. Responden diberikan pertanyaan dengan skala -3 untuk menggambarkan sensasi dingin sama sekali hingga +3 untuk menggambarkan sensasi panas yang ekstrim dan nilai 0 untuk nilai netral atau nyaman. Nilai-nilai tersebut kemudian diolah dengan persamaan matematis yang dikembangkan Fanger yang digunakan untuk memperoleh akar dari nilai prediksi parameter kenyamanan termal rata-rata sekelompok responden.
Enam parameter tersebut adalah suhu, kenyamanan termal dalam ruangan, suhu ruangan rata-rata, kelembaban relatif, kecepatan udara, laju metabolisme, dan jenis pakaian. Rekomendasi nilai PMV yang termasuk dalam zona kenyamanan termal adalah -0,5 <PMV <+0,5 dengan enam batas parameter di atas.
Penelitian untuk mendapatkan nilai parameter kenyamanan termal dari kelompok responden yang beragam merupakan langkah penting untuk mendapatkan kondisi termal yang nyaman. Namun metode PMV tidak memberikan gambaran tingkat kepuasan responden terhadap kondisi termal statis. Berdasarkan pemikiran tersebut, Fanger kemudian mengembangkan persamaan matematis yang dapat memberikan tingkat kepuasan responden yang diberi istilah Predicted Percentage Disatisfied (PPD).
Model Kenyamanan Termal Adaptif
Model kenyamanan termal adaptif didasarkan pada prinsip bahwa kondisi termal di luar gedung mempengaruhi kondisi termal di dalam gedung dan manusia memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan berbagai kondisi termal. Model kenyamanan termal adaptif didasarkan pada harapan seseorang terhadap kondisi lingkungan termal berdasarkan ingatan masa lalu, pola perilaku, kondisi termal di lingkungan sekitarnya. Perilaku untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan termal, seperti membuka menutup jendela, menyalakan pendingin atau pemanas, memakai tebal atau tipis, dan lain sebagainya.
Hasil penelitian ini telah digunakan sebagai acuan dalam standarisasi ASHRAE 55-2004 sebagai pemodelan adaptif kenyamanan termal. Grafik tersebut menggambarkan kepuasan penghuni zona adaptif sebesar 80% dan 90% dari suhu suatu ruangan dibandingkan dengan suhu di luar ruangan.
Standarisasi ASHRAE-55, 2010 menggunakan nilai suhu luar gedung sebagai masukan pertanyaan kepada responden dan tingkat kepuasan kenyamanan termal diperoleh dengan mencari nilai rata-rata aritmatika nilai rata-rata suhu luar ruangan selama kurang dari tiga puluh hari. Cara lainnya adalah dengan menghitung nilai suhu tingkat kepuasan penghuni menggunakan koefisien pembobotan yang berbeda, mengacu pada input suhu yang berada di luar gedung. Model adaptif ini harus diterapkan pada bangunan dengan ventilasi alami yang dapat dikontrol. Namun, tanpa sistem pendingin mekanis, aktivitas penghuni dengan laju metabolisme shabu 1-1,3 dan suhu di luar gedung berkisar antara 10 °C (50 °F) hingga 33,5 °C (92,3 °F).
Sejumlah peneliti telah melakukan penelitian lapangan di berbagai negara di seluruh dunia di mana mereka menanyakan tentang kenyamanan termal penghuni bangunan yang diharapkan ideal, sekaligus pengukuran parameter lingkungan termal. Hasil analisis database dari 160 studi menyimpulkan bahwa penghuni gedung dengan sistem sirkulasi udara alami lebih menerima dan terkadang menyukai perbedaan kondisi termal yang lebih besar daripada penghuni gedung dengan sistem ventilasi mekanis dan sistem pendingin.
Penelitian yang dilakukan oleh de Dear dan Brager menyimpulkan bahwa penghuni yang dulunya tinggal di gedung dengan sirkulasi udara alami jauh lebih toleran terhadap perubahan suhu yang besar. Hal ini disebabkan oleh kemampuan penyesuaian diri psikolgi, fisiologi dan pola perilaku. Standarisasi ASHRAE 55-2010 menyebutkan ada beberapa penyesuaian yang dilakukan penghuni sehubungan dengan perubahan suhu ruangan, misalnya memakai pakaian yang lebih panas atau lebih dingin, membuka jendela untuk meningkatkan aliran udara, menurunkan laju metabolisme dengan mengurangi tingkat aktivitas. tubuh, atau untuk mengubah harapan psikologis.
Model kenyamanan termal adaptif juga distandarisasi, seperti standarisasi Uni Eropa EN 15 251 dan Standar Internasional ISO 7730. Namun, asumsi perilaku penghuni dan metode kehilangan persamaan matematis sedikit berbeda dengan ASHRAE 55-2004. Perbedaan yang lebih mendasar adalah standar ASHRAE hanya berlaku untuk bangunan tanpa sistem pendingin mekanis, sedangkan EN15251 dapat berlaku untuk sirkulasi alami pada bangunan yang dilengkapi dengan sistem pendingin mekanis.
Masa Depan Kenyamanan Termal di Indonesia
Sebelum merancang sebuah bangunan, kami menyarankan Arsitek untuk mempertimbangkan aspek kenyamanan termal sebagai bagian dari tujuan desain bangunan. Perancang dapat menggunakan model kenyamanan termal statis, seperti PMV atau PPD pada bangunan yang sepenuhnya dikontrol kondisi sistem air suhu kamar. Sedangkan untuk desain gedung perkantoran yang suhunya bergantung pada sirkulasi udara alami, dapat menggunakan standarisasi model kenyamanan termal adaptif. Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada kesepakatan mengenai standarisasi yang lebih tepat untuk diterapkan pada bangunan yang dikendalikan oleh kondisi udara sebagian di dalam ruangan atau dalam tempo tertentu.
Sayangnya, kenyamanan termal Indonesia belum memiliki standarisasi yang dikembangkan sesuai dengan iklim, karakter masyarakat, dan arsitektur tradisional Indonesia. Standarisasi kenyamanan termal di Indonesia saat ini berada pada kenyamanan termal yang dikeluarkan oleh SNI. Nilai parameter kenyamanan termal yang diperoleh dari mengadopsi nilai standarisasi internasional yang diambil tidak lengkap dan dengan demikian kehilangan substansinya.
Tantangan masa depan arsitek, desainer, dan konsultan HVAC di Indonesia adalah membuat standardisasi lebih sesuai dengan kondisi negara Indonesia. Idealnya, Indonesia harus memiliki seperangkat standar kenyamanan termal melalui penelitian lapangan yang telah disesuaikan dengan kondisi iklim berdasarkan data meteorologi dan geofisika Indonesia, pengukuran termal lapangan, pola perilaku, harapan, psikologis, respon fisiologis, dan arsitektur tradisional Indonesia.
Untuk konsultasi silahkan hubungi kami atau isi form dibawah ini :
ALTA Integra
Jl. Hayam Wuruk No. 2 R – S
Jakarta Pusat, 10120
Telp: 021 351 3 351
Fax: 021 345 8 143