Menurut World Air Quality Report 2020 oleh IQAir, kesadaran masyarakat terhadap kualitas udara di Indonesia mulai meningkat.1 Masyarakat merasa bahwa pencemaran udara merupakan masalah yang melanggar hak asasi manusia untuk dapat hidup dalam lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan.2 Peningkatan kualitas hidup sehat menjadi sebuah urgensi di abad ke-21 ini.3
Kualitas udara menjadi salah satu aspek penting dalam melakukan sertifikasi bangunan hijau seperti LEED V4.1 dan WELL V2.4-5 Aspek kualitas udara ini sangat dipengaruhi oleh polusi udara. Nilai ambang batas (NAB) atau batas konsentrasi polusi udara dalam udara ambien menggunakan standar kualitas udara dari World Health Organization (WHO).6 Pada umumnya, pengukuran dilakukan terhadap empat polutan udara yaitu: partikel (PM), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), dan sulfur dioksida (SO2).
Tabel 1. Nilai Ambang Batas Polutan Udara menurut WHO. [6]
PM2.5
(rata-rata 24 jam) |
PM10
(rata-rata 24 jam) |
O3
(rata-rata 8 jam) |
NO2
(rata-rata 1 jam) |
SO2
(rata-rata 10 menit) |
|
WHO | 25 µg/m3 | 50 µg/m3 | 100 µg/m3 | 200 µg/m3 | 500 µg/m3 |
Setiap tahunnya, air quality index (AIQ) di Jakarta meningkat dan melebihi standar batas paparan udara WHO. Sehingga menyebabkan kualitas udara di Jakarta tergolong tidak sehat. Memburuknya kualitas udara di Jakarta diprediksi dapat menimbulkan potensi penduduk Jakarta kehilangan 2,3 tahun selama masa hidup mereka.8
Sumber Polutan Udara di Jakarta
Berdasarkan studi perihal sumber polusi udara utama di Jakarta oleh ITB yang didanai oleh Toyota Clean Air Project (TCAP)9, terdapat perbedaan konsentrasi rata-rata kualitas udara PM2.5 ketika musim hujan dan musim kemarau pada tiga titik pengukuran yaitu: Gelora Bung Karno (GBK), Kebon Jeruk (KJ) dan Lubang Buaya (LB). Pengukuran dilakukan pada Oktober 2018 – Maret 2019 (musim hujan) dan Juli – September 2019 (musim kemarau).
Studi tersebut menunjukkan bahwa iklim memiliki korelasi kuat dengan polusi udara. PM2.5 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikrometer.10 Musim hujan menyebabkan tingkat konsentrasi PM2.5 pada udara menjadi rendah dibandingkan musim kemarau. Hal ini disebabkan karena butir air hujan dapat mengendapkan polutan kemudian membawanya ke saluran drainase. Fenomena ini disebut sebagai wet deposition.
Tinjauan lebih lanjut menunjukkan bahwa asap kendaraan bermotor, pembakaran batu bara, pembakaran terbuka, aktivitas konstruksi, dan aktivitas tersuspensi merupakan sumber utama pencemaran udara di Jakarta.9 Kondisi sumber polutan ini akan berbeda pada musim hujan dan kemarau seperti aktivitas konstruksi, pembakaran batu bara, dan partikel tanah tersuspensi pada periode tahun 2018-2019. Perlu diperhatikan bahwa sumber polutan pada setiap daerah dapat berbeda-beda tergantung pada lokasi dan waktu daerah pengukuran.
Gambar 6 menunjukkan bahwa asap kendaraan bermotor memiliki pengaruh besar sebagai penghasil polutan yang mengurangi kualitas udara di Jakarta. Selain itu, sumber utama non-kendaraan yang terdiri dari debu jalan beraspal, pembakaran terbuka, konstruksi, garam laut, tanah, dan pembakaran batubara menjadi sumber polutan terbesar kedua setelah asap kendaraan bermotor. Garam laut merupakan sumber utama polutan non-kendaraan yang terdapat di ketiga daerah pengukuran. Emisi laut alami tersebut terbentuk karena dorongan angin dari permukaan laut menuju daratan.
Akan tetapi, pandemi COVID-19 membawa dampak positif terhadap kualitas udara di Jakarta. Laporan kualitas udara dunia 2020 oleh IQAir menunjukkan bahwa PM2.5 tahun 2020 di Jakarta turun 20% jika dibandingkan dengan PM2.5 pada tahun 2019. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan work from home (WFH) selama masa pandemi COVID-19 2020 yang membuat para penduduk mengurangi mobilitasnya menggunakan kendaraan bermotor maupun transportasi umum.11
Data dan fakta diatas menguatkan bahwa mayoritas lokasi di Jakarta tergolong memiliki kualitas udara yang tidak sehat terutama di daerah industri dan perkotaan yang menggunakan mesin bakar.12-13 Studi yang dilakukan oleh Jones et al pada negara Cina dan India menunjukan bahwa negara tersebut memiliki konsentrasi PM2.5 dalam ruangan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi PM2.5 luar ruangan.12 Kedua negara tersebut memiliki kesamaan dengan Indonesia yaitu terletak di benua Asia dan memiliki aktivitas industri.
Penyebab utama tingginya tingkat konsentrasi PM2.5 dalam ruangan adalah minimnya bukaan ventilasi pada gedung ketika jam kerja, terdapatnya inflitrasi PM2.5 luar ruangan melalui selubung bangunan, dan nilai pertukaran udara ventilasi yang lebih tinggi tanpa disertai filter yang tepat.12 Pada umumnya, sistem ventilasi di gedung selama jam sibuk mempertahankan tekanan positif untuk mengurangi cooling load pada gedung tersebut. Namun hal tersebut menyebabkan pertukaran udara segar menjadi rendah sehingga PM2.5 dalam ruangan menjadi terakumulasi dan bercampur dengan udara di dalam ruangan.
Paramitha dan Haryanto melakukan penelitian perihal pengaruh paparan PM2.5 dalam ruangan pada fungsi paru-paru di area industri Pulo Gadung, Jakarta.13 Studi menunjukkan bahwa ketika okupan menghirup udara bercampur PM2.5 dalam ruangan dan mencapai alveoli, partikel dan metabolit oksigen dalam tubuh akan berinteraksi. Jika jumlah radikal bebas dalam tubuh melebihi kapasitas untuk menetralisirnya, tubuh manusia akan menghasilkan stres oksidatif yang dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru dan membatasi ekspansi paru-paru. Dalam paparan jangka panjang, keadaan tersebut dapat memicu gangguan serta penurunan fungsi paru-paru pada manusia di dalam ruangan.
Permasalahan tingginya tingkat konsentrasi PM2.5 dalam ruangan dapat dimulai dengan perancangan sistem pertukaran udara dengan menggunakan filter untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. Hasil studi Jones et al menunjukkan bahwa menggunakan filter dengan peringkat minimal MERV 13 dapat mengurangi konsentrasi PM2.5 dalam ruangan.12 Selain itu, masyarakat umum dapat menggunakan air purifier yang ditempatkan dekat sumber polutan serta menyalakan mode pemasokan udara murni untuk mengurangi konsentrasi partikel halus di zona pernapasan penghuni atau occupant breathing zone.14
Kualitas udara yang baik akan berperan penting untuk menunjang produktivitas, kesehatan, dan kesejahteraan manusia serta memenuhi hak manusia untuk mendapatkan hidup yang lebih sehat. Lebih lanjut lagi, berbagai perusahaan atau organisasi dapat memastikan kualitas udara pada bangunan dengan melakukan sertifikasi LEED O+M (Building Operations and Maintenance) dan WELL Building Standard pada bangunan.
Kedua sertifikasi ini dapat membantu dalam meningkatkan standar kualitas udara dalam ruangan baik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan luar maupun dalam. Perbedaannya, LEED berfokus dalam menciptakan bangunan yang berkelanjutan dan efisien sedangkan WELL berupaya untuk fokus dalam meningkatkan kesejahteraan, kenyamanan, dan kesehatan manusia.
ALTA Integra berkeyakinan bahwa mengintegrasikan arsitektur bangunan dengan fisika bangunan dapat meningkatkan produktivitas, kenyamanan, dan keberlangsungan hidup manusia. Untuk konsultasi perihal mendapatkan bangunan industri bersertifikat LEED dan WELL, ALTA Integra siap melayani kebutuhan Anda. Silahkan hubungi kami di:
Angela Michelle Sutopo
Intern ALTA Integra – Juni 2021
NIM: 00000028253
Teknik Fisika 2018
Universitas Multimedia Nusantara
for
ALTA Integra
Jl. Hayam Wuruk No. 2 R – S
Jakarta Pusat, 10120
Telp: 021 351 3351
Fax: 021 345 8143
- IQAir, “2020 World Air Quality Report,” 2020. [Online]. Available: https://www.iqair.com/world-most-polluted-cities/world-air-quality-report-2020-en.pdf.
- D. R. Boyd, “The Human Right to Breathe Clean Air,” in Annals of Global Health, 2019, vol. 85, no. 1, doi: 10.5334/aogh.2646.
- WHO, “Health for All in the 21st Century – WHO,” 1997. [Online]. Available: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/121615/em_rc44_10_annex_en.pdf;sequence=1.
- LEED, “LEED v4 User Guide,” U.S. Green Building Council, 2014. [Online]. Available: https://www.usgbc.org/resources/leed-v4-user-guide.
- International Well Building Institute , “The Well Certification Guidebook,” 2021. [Online]. Available: https://a.storyblok.com/f/52232/x/c79ae69131/well-certification-guidebook_q2-2021.pdf.
- WHO, Air quality guidelines: global update 2005: particulate matter, ozone, nitrogen dioxide and sulfur dioxide. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe, 2006.
- IQAir, “2019 WORLD AIR QUALITY REPORT – Region & City PM2.5 Ranking,” 2019. [Online]. Available: https://www.greenpeace.org/static/planet4-thailand-stateless/2020/02/91ab34b8-2019-world-air-report.pdf.
- M. Greenstone and Q. Fan, “AIR QUALITY LIFE INDEX UPDATE MARCH 2019 | Indonesia’s Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy,” 2019. [Online]. Available: https://aqli.epic.uchicago.edu/wp-content/uploads/2019/03/Indonesia-Report.pdf.
- Bandung Institute of Technology, “Main Sources of Air Pollution in Jakarta.” [Online]. Available: https://www.vitalstrategies.org/wp-content/uploads/Air-Pollution-in-Jakarta-A-Source-Apportionment-Study_Policy-Brief_ENG.pdf.
- BMKG, “Informasi Konsentrasi Partikulat (PM2.5),” BMKG. [Online]. Available: https://www.bmkg.go.id/kualitas-udara/informasi-partikulat-pm25.bmkg.
- S. Pramana, D. Y. Paramartha, Y. Adhinugroho, and M. Nurmalasari, “Air Pollution Changes of Jakarta, Banten, and West Java, Indonesia During the First Month of COVID 19 Pandemic,” in Journal of Business, Economics and Environmental Studies, 2020, vol. 10, no. 4, pp. 15–19, doi: 10.13106/jbees.2020.vol10.no4.15.
- E. R. Jones, J. G. Cedeño Laurent, A. S. Young, P. MacNaughton, B. A. Coull, J. D. Spengler, and J. G. Allen, “The effects of ventilation and filtration on indoor PM2.5 in office buildings in four countries,” in Building and Environment, 2021, vol. 200, p. 107975, doi: 10.1016/j.buildenv.2021.107975.
- E. Pramitha and B. Haryanto, “Effect of Exposure to 2.5 μm Indoor Particulate Matter on Adult Lung Function in Jakarta,” in Osong Public Health and Research Perspectives, 2019, vol. 10, no. 2, pp. 51–55, doi: 10.24171/j.phrp.2019.10.2.02.
- H. Park, S. Park, and J. Seo, “Evaluation on Air Purifier’s Performance in Reducing the Concentration of Fine Particulate Matter for Occupants according to its Operation Methods,” in International Journal of Environmental Research and Public Health, 2020, vol. 17, no. 15, p. 5561, doi: 10.3390/ijerph17155561.